Sabtu, 21 November 2009

Hadiah manis untuk Arya

Arya berdiri di ruang makan. Sebentar-sebentar dia mengintip ke ruang kerja ayahnya. Di ruangan itu tersimpan buku-buku koleksi ayahnya. Ruangan itu dialasi tikar lampit Kalimantan. Sangat nyaman. Arya dan Astri betah berlama-lama membaca di situ. Ibu Arya yang seorang guru, juga sering mengoreksi soal-soal ulangan di situ. Sekarang ini lampu ruangan itu mati. Ayah belum sempat menggantikan dengan lampu baru. Arya mengintip sekali lagi. Namun ia tidak bisa melihat jelas karena ruangan itu agak gelap. Sore itu tidak ada seorang pun di rumah kecuali Arya. Ayah dan ibu mengantar Astri ke dokter gigi. Arya mulai gelisah. Ia ingin sekali masuk ke ruangan itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh dering telepon. Ternyata dari Dani, teman sekelasnya. "Kalau kamu tidak bisa menemukannya, berarti kamu ingkar janji. Dasar pengecut!" kata Dani dengan suara keras. "Tapi Dan..." jawab Arya gugup. Belum sempat Arya menyelesaikan kalimatnya, telepon sudah ditutup Dani. Arya lalu berjalan menuju ruang belajar. Besok Ibu akan memberi ulangan matematika. Di ruang itulah biasanya Ibu mempersiapkan soal-soal ulangan. Perlahan-lahan dibukanya pintu ruangan itu. Berkas sinar lampu dari ruang makan menerobos masuk. "Itu dia!" gumam Arya gembira. Sebuah buku tergeletak di meja. Tampak ada sehelai kertas terselip di dalamnya. Arya tahu benar bahwa mengintip soal sebelum ulangan adalah perbuatan curang. Namun ejekan Dani terngiang-ngiang di telinganya. Arya menarik napas panjang dan berkata pada dirinya sendiri, "Aku bukan pengecut. Aku harus mengambilnya!" Dengan gemetar, diambilnya kertas itu dari atas meja. Lega rasanya begitu melihat bahwa kertas itu benar-benar soal ulangan matematika. Rasa takut kembali muncul di hatinya. "Pengecut, pengecut!" Mengingat kata-kata Dani itu, Arya menjadi nekat membawa kertas itu keluar. Secepat kilat ia lari ke ruang TV menelepon Dani. "Hebat!" teriak Dani. Arya lalu membacakan soal matematika itu dan Dani mencatatnya. "Terima kasih, Arya. Besok kutraktir es krim Mas Doto deh!" seru Dani riang. Arya tertegun sejenak. Dia lalu lari ke ruang belajar dan menyimpan kembali kertas soal itu. Baru saja Arya hendak menutup pintu ruang belajar, terdengar suara mobil Ayah di depan rumah. "Hmmm, untung sudah beres," gumamnya perlahan. Keesokkan harinya ulangan matematika berlangsung sesuai jadwal. "Ya ampun, soalnya persis sekali!" seru Arya dalam hati. Dani berhasil menyelesaikan soal ulangan dalam waktu dua puluh menit. Ketika ia menyerahkan lembar jawaban, semua anak memandang keheranan padanya. Arya tersenyum dan Dani membalas dengan mengedipkan sebelah matanya. "Kau adalah sahabatku yang paling baik di dunia!" ucap Dani saat mereka menikmati es krim di bawah pohon. Arya tersipu. Sore harinya, saat Arya pulang ke rumah, "Arya, Ibu punya kejutan buatmu!" seru Ibu gembira. "Wow, chicken pie!" teriak Arya. "Makasih, Bu!" seru Arya lagi. Saat makan malam tiba, dengan bangga Ibu menceritakan kehebatan anaknya. "Ayah, Arya mendapat nilai matematika paling tinggi di kelas, lo!" seru Ibu. "Wah hebat! Anak istimewa harus mendapat hadiah istimewa! " timpal Ayah. "Aku juga mau kasih Mas Arya hadiah. Tapi rahasia!" ucap Astri, adik Arya. Arya menutup mulut dengan tangannya. Alisnya agak terangkat. Ia menjadi salah tingkah. Ia malu dan merasa sangat bersalah. Arya akhirnya menunduk dan berkata lirih, "Maaf, Bu. Saya membaca soal ulangan matematika itu tadi malam," air mata menggenang di pelupuk matanya. Ibu memeluknya dengan lembut dan berkata, "Hmm, Ibu senang akhirnya kamu mengaku. Tapi mengapa kau lakukan itu? Ada yang menyuruhmu?" desak Ibu lembut. "Ti...tidak, Bu!" sahut Arya cepat, tetap menunduk. "Memang serba salah jadi anak guru, ya?" Ibu menyelidik halus. "Mmm...sebetulnya kalau aku berani, hal ini tidak akan terjadi, Bu," jawab Arya memberanikan diri. Ibu tersenyum mendengar jawaban anaknya. "Sebenarnya Ibu curiga sejak tadi malam. Kau tidak menyelipkan kembali soal matematika itu pada halaman semula," jelas Ibu bijak. "Dan Ibu tambah curiga melihat gerak-gerik Dani saat menyerahkan soal. Tapi sudahlah, kamu kan sudah mengakui kesalahanmu," ucap Ibu lagi. "Jadi, sebetulnya Ibu sudah tahu sejak tadi malam?" Arya keheranan. Ibu tersenyum mengangguk. "Lo...kenapa Mas Arya tidak langsung dimarahi, Bu?" tanya Astri. Ayah tertawa sambil mengacak-acak rambut Astri, "Kamu tuh paling suka kalau Mas Arya dihukum!" "Menghukum seseorang itu tidak harus selalu dengan marah-marah!" Ibu menjelaskan. "Bu, Arya lebih baik dimarahi habis-habisan daripada diperlakukan dengan baik begini," sergah Arya. "Akh kamu! Sudah salah malah nawar-nawar!" sahut Ayah sambil tertawa. Arya menghela nafasnya. Tiba-tiba Ayah menyeletuk, "Astri, sini chicken pie nya. Ayah habiskan saja deh!" Astri dan Arya serentak lari menuju lemari makan, dan berteriak, "Jangan dooong!" Ayah dan Ibu tertawa melihat tingkah kedua anaknya. ***
Mundur satu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 21 November 2009

Hadiah manis untuk Arya

Arya berdiri di ruang makan. Sebentar-sebentar dia mengintip ke ruang kerja ayahnya. Di ruangan itu tersimpan buku-buku koleksi ayahnya. Ruangan itu dialasi tikar lampit Kalimantan. Sangat nyaman. Arya dan Astri betah berlama-lama membaca di situ. Ibu Arya yang seorang guru, juga sering mengoreksi soal-soal ulangan di situ. Sekarang ini lampu ruangan itu mati. Ayah belum sempat menggantikan dengan lampu baru. Arya mengintip sekali lagi. Namun ia tidak bisa melihat jelas karena ruangan itu agak gelap. Sore itu tidak ada seorang pun di rumah kecuali Arya. Ayah dan ibu mengantar Astri ke dokter gigi. Arya mulai gelisah. Ia ingin sekali masuk ke ruangan itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh dering telepon. Ternyata dari Dani, teman sekelasnya. "Kalau kamu tidak bisa menemukannya, berarti kamu ingkar janji. Dasar pengecut!" kata Dani dengan suara keras. "Tapi Dan..." jawab Arya gugup. Belum sempat Arya menyelesaikan kalimatnya, telepon sudah ditutup Dani. Arya lalu berjalan menuju ruang belajar. Besok Ibu akan memberi ulangan matematika. Di ruang itulah biasanya Ibu mempersiapkan soal-soal ulangan. Perlahan-lahan dibukanya pintu ruangan itu. Berkas sinar lampu dari ruang makan menerobos masuk. "Itu dia!" gumam Arya gembira. Sebuah buku tergeletak di meja. Tampak ada sehelai kertas terselip di dalamnya. Arya tahu benar bahwa mengintip soal sebelum ulangan adalah perbuatan curang. Namun ejekan Dani terngiang-ngiang di telinganya. Arya menarik napas panjang dan berkata pada dirinya sendiri, "Aku bukan pengecut. Aku harus mengambilnya!" Dengan gemetar, diambilnya kertas itu dari atas meja. Lega rasanya begitu melihat bahwa kertas itu benar-benar soal ulangan matematika. Rasa takut kembali muncul di hatinya. "Pengecut, pengecut!" Mengingat kata-kata Dani itu, Arya menjadi nekat membawa kertas itu keluar. Secepat kilat ia lari ke ruang TV menelepon Dani. "Hebat!" teriak Dani. Arya lalu membacakan soal matematika itu dan Dani mencatatnya. "Terima kasih, Arya. Besok kutraktir es krim Mas Doto deh!" seru Dani riang. Arya tertegun sejenak. Dia lalu lari ke ruang belajar dan menyimpan kembali kertas soal itu. Baru saja Arya hendak menutup pintu ruang belajar, terdengar suara mobil Ayah di depan rumah. "Hmmm, untung sudah beres," gumamnya perlahan. Keesokkan harinya ulangan matematika berlangsung sesuai jadwal. "Ya ampun, soalnya persis sekali!" seru Arya dalam hati. Dani berhasil menyelesaikan soal ulangan dalam waktu dua puluh menit. Ketika ia menyerahkan lembar jawaban, semua anak memandang keheranan padanya. Arya tersenyum dan Dani membalas dengan mengedipkan sebelah matanya. "Kau adalah sahabatku yang paling baik di dunia!" ucap Dani saat mereka menikmati es krim di bawah pohon. Arya tersipu. Sore harinya, saat Arya pulang ke rumah, "Arya, Ibu punya kejutan buatmu!" seru Ibu gembira. "Wow, chicken pie!" teriak Arya. "Makasih, Bu!" seru Arya lagi. Saat makan malam tiba, dengan bangga Ibu menceritakan kehebatan anaknya. "Ayah, Arya mendapat nilai matematika paling tinggi di kelas, lo!" seru Ibu. "Wah hebat! Anak istimewa harus mendapat hadiah istimewa! " timpal Ayah. "Aku juga mau kasih Mas Arya hadiah. Tapi rahasia!" ucap Astri, adik Arya. Arya menutup mulut dengan tangannya. Alisnya agak terangkat. Ia menjadi salah tingkah. Ia malu dan merasa sangat bersalah. Arya akhirnya menunduk dan berkata lirih, "Maaf, Bu. Saya membaca soal ulangan matematika itu tadi malam," air mata menggenang di pelupuk matanya. Ibu memeluknya dengan lembut dan berkata, "Hmm, Ibu senang akhirnya kamu mengaku. Tapi mengapa kau lakukan itu? Ada yang menyuruhmu?" desak Ibu lembut. "Ti...tidak, Bu!" sahut Arya cepat, tetap menunduk. "Memang serba salah jadi anak guru, ya?" Ibu menyelidik halus. "Mmm...sebetulnya kalau aku berani, hal ini tidak akan terjadi, Bu," jawab Arya memberanikan diri. Ibu tersenyum mendengar jawaban anaknya. "Sebenarnya Ibu curiga sejak tadi malam. Kau tidak menyelipkan kembali soal matematika itu pada halaman semula," jelas Ibu bijak. "Dan Ibu tambah curiga melihat gerak-gerik Dani saat menyerahkan soal. Tapi sudahlah, kamu kan sudah mengakui kesalahanmu," ucap Ibu lagi. "Jadi, sebetulnya Ibu sudah tahu sejak tadi malam?" Arya keheranan. Ibu tersenyum mengangguk. "Lo...kenapa Mas Arya tidak langsung dimarahi, Bu?" tanya Astri. Ayah tertawa sambil mengacak-acak rambut Astri, "Kamu tuh paling suka kalau Mas Arya dihukum!" "Menghukum seseorang itu tidak harus selalu dengan marah-marah!" Ibu menjelaskan. "Bu, Arya lebih baik dimarahi habis-habisan daripada diperlakukan dengan baik begini," sergah Arya. "Akh kamu! Sudah salah malah nawar-nawar!" sahut Ayah sambil tertawa. Arya menghela nafasnya. Tiba-tiba Ayah menyeletuk, "Astri, sini chicken pie nya. Ayah habiskan saja deh!" Astri dan Arya serentak lari menuju lemari makan, dan berteriak, "Jangan dooong!" Ayah dan Ibu tertawa melihat tingkah kedua anaknya. ***
Mundur satu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar