Sabtu, 21 November 2009

Barter

Selesai sudah Emi menyapu lantai rumah. Di luar, Dian telah menunggu untuk jajan miso di tempat Pak Saerah.“Yo’ik… yo ‘ik…” seru Emi riang sembari berlari menuruni anak tangga teras.“Lari-lari, nanti jatuh lo,” Dian tersenyum dari atas kursi rodanya.Ya, ia murid SLB bagian D. Rumah Pak Saerah berada di depan kompleks SLB. Gerobak miso sudah siap di serambi. Mie dan bulatan-bulatan bakso nampak menggunung di dalamnya. Ini sudah jam 4 sore. Pak Saerah tentu akan segera membawanya ke terminal dan pulang malam-malam. Makanya harus buru-buru bila ingin membeli.Siti, anak Pak Saerah, tengah mengupas bawang merah di balai-balai. Melihat Emi dan Dian datang ia menyapa ramah, “Emi, Dian… Mau beli miso, ya? Belum matang nih.”“Lo, tumben?” ujar Emi dan Dian berbarengan.“Ibu lagi sakit. Sekarang Bapak mau mengantarnya ke dokter Isnan. “ Selesai Emi bicara Pak Saerah nampak keluar menuntun sepeda.“Mau beli miso, ya?” Pak Saerah memandang Emi dan Dian. “Tunggu sebentar ya! Siti akan segera membumbui kuahnya dan menggoreng bawang merah,” lanjutnya ramah.Siti bangkit berdiri sembari mengibaskan roknya. Bawang merah yang selesai dikupas berada dalam panci yang dipenuhi air. Siti pernah bilang bila direndam demikian, tak akan pedih di mata ketika diiris nanti.Emi memapah Dian turun dan duduk di balai-balai. Sementara Siti dan Pak Saerah masuk ke dalam rumah. Ada dua pisau di situ, Emi dan Dian meraihnya satu-satu. Siti nampaknya juga sudah siap dengan talenan dan baki. Emi dan Dian mengiris bawang merah di hadapannya tanpa diminta.Tak berapa lama kemudian, Pak Saerah dan Siti nampak ke luar memapah Bu Saerah. Menuju ke sepeda di depan serambi. Tapi begitu Bu Saerah duduk di boncengan, tubuhnya terkulai. Ia kelihatan lemah sekali.“Aku tak kuat kalau harus bonceng sepeda, Pak,” desis Bu Saerah lirih.“Baiklah aku akan memanggil becak. Ayo masuk lagi,” kata Pak Saerah.“Mengapa mesti memanggil becak, Pak? Antarlah Bu Saerah ke dokter dengan kursi rodaku,” cetus Dian tiba-tiba.Gerakan Pak Saerah dan Siti terhenti. Ditolehnya Dian. Dian mengangguk meyakinkan. Emi bergegas mendorong kursi roda ke dekat mereka.“Aaah… kalau begitu… terima kasih banyak,” kata Pak Saerah setelah sesaat terpana. Rasa gembira dan haru berbaur menjadi satu.Nah, Bu Saerah telah duduk manis di atas kursi roda. Pak Saerah mendorongnya ke luar halaman, menyusur sepanjang tepi jalan, menuju tempat praktek dokter Isnan. Siti berdiri mengawasi dari tepi serambi, hingga Bapak-ibunya menikung jalan dan hilang dari pandangan.“Kalian jadi ikut repot,” Siti menoleh pada Dian dan Emi yang tengah sibuk mengiris bawang merah.“Ah, tidak,” sergah Emi dan Dian tulus. “Bawang merahnya tidak pedih di mata, lo,” sambung Emi. “He-eh,” Dian mengiyakan.Siti tersenyum sembari melangkah ke dalam rumah. Ketika ke luar lagi, ia nampak membawa sebuah piring kecil berisi ulekan bumbu miso. Bumbu itu dimasukkannya ke dalam panci kuah yang berada di bagian belakang gerobak. Begitu tutup panci dibuka, wusss… kepul-kepul asap panas mengudara dari dalamnya. Sesudah itu, Siti masuk ke dalam rumah lagi, dan beberapa saat kemudian ke luar lagi. Begitu berulang-ulang. Ia sungguh sibuk. Membuat sambal, membuat acar mentimun, mengiris daun seledri, mencuci daun selada, dan entah apa lagi. Yang pasti ia terampil sekali.“Nah, bawang merah sudah selesai diiris nih, Ti,” kata Emi saat Siti memasukkan setumpukkan mangkuk ke dalam laci gerobak.“Terima kasih.” Siti bergegas melangkah ke dalam rumah, membawa irisan bawang merah yang menggunung dalam baki itu untuk di goreng. Sementara Emi dan Dian tiduran di balai-balai sambil bercakap.Beberapa menit berlalu. Beres sudah semua. Siti berseri-seri, ia siap melayani Dian dan Emi. Dalam meracik miso mangkuk pun Siti sudah ahi.“Wah, rasanya tidak beda dengan buatan Bu Saerah atau Pak Saerah.” Emi berkomentar lalu mulutnya berdecap-decap tiada henti.“Iya ya, Siti pasti jadi juragan nanti,” gurau Dian. Emi dan Siti tertawa mendengarnya.Emi dan Dian baru selesai makan miso, ketika Pak Saerah dan Bu Saerah datang. Di dalam hati mereka berdoa agar Bu Saerah cepat sembuh. Siti dan Pak Saerah memapah Bu Saerah masuk ke dalam rumah. Emi mendorong kursi roda tadi ke dekat balai-balai. Dibantunya Dian duduk ke atasnya. Tak lama kemudian Pak Saerah keluar. Di lehernya terkalung handuk putih berukuran kecil. Artinya ia sudah siap untuk pergi ke terminal. Emi segera menyodorkan tiga lembar uang lima ratusan padanya. Itu uang miso Dian dan dirinya. Tapi Pak Saerah malah tertawa.“Wah, jadi berapa rupiah aku harus membayar sewa kursi roda dan rasa capek kalian mengiris bawang merah?” ujar Pak Saerah jenaka sembari menolak uang yang Emi sodorkan.Emi dan Dian terkesiap. Mereka berpandangan.“Kali ini kalian tak usah bayar. Kita barter saja, ya?” nada suara Pak Saerah masih saja jenaka. Lalu mendorong gerobak misonya turun ke halaman.“Terima kasih, Pak,” seru Emi setelah sesaat terpana.“Aku juga terima kasih Pak,” Dian menirukan.Pak Saerah yang telah sampai di tengah halaman menoleh sekilas sambil tersenyum manis. “Sama-sama!” katanya.“Terima kasih untuk semuanya Emi, Dian…,” gantian Siti kini yang bicara. Tiba-tiba ia sudah berada di mulut pintu.“Sama-sama,” Emi dan Dian menjawab berbarengan. Lantas keduanya berpamitan pulang. Pulang dengan perasaan lapang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 21 November 2009

Barter

Selesai sudah Emi menyapu lantai rumah. Di luar, Dian telah menunggu untuk jajan miso di tempat Pak Saerah.“Yo’ik… yo ‘ik…” seru Emi riang sembari berlari menuruni anak tangga teras.“Lari-lari, nanti jatuh lo,” Dian tersenyum dari atas kursi rodanya.Ya, ia murid SLB bagian D. Rumah Pak Saerah berada di depan kompleks SLB. Gerobak miso sudah siap di serambi. Mie dan bulatan-bulatan bakso nampak menggunung di dalamnya. Ini sudah jam 4 sore. Pak Saerah tentu akan segera membawanya ke terminal dan pulang malam-malam. Makanya harus buru-buru bila ingin membeli.Siti, anak Pak Saerah, tengah mengupas bawang merah di balai-balai. Melihat Emi dan Dian datang ia menyapa ramah, “Emi, Dian… Mau beli miso, ya? Belum matang nih.”“Lo, tumben?” ujar Emi dan Dian berbarengan.“Ibu lagi sakit. Sekarang Bapak mau mengantarnya ke dokter Isnan. “ Selesai Emi bicara Pak Saerah nampak keluar menuntun sepeda.“Mau beli miso, ya?” Pak Saerah memandang Emi dan Dian. “Tunggu sebentar ya! Siti akan segera membumbui kuahnya dan menggoreng bawang merah,” lanjutnya ramah.Siti bangkit berdiri sembari mengibaskan roknya. Bawang merah yang selesai dikupas berada dalam panci yang dipenuhi air. Siti pernah bilang bila direndam demikian, tak akan pedih di mata ketika diiris nanti.Emi memapah Dian turun dan duduk di balai-balai. Sementara Siti dan Pak Saerah masuk ke dalam rumah. Ada dua pisau di situ, Emi dan Dian meraihnya satu-satu. Siti nampaknya juga sudah siap dengan talenan dan baki. Emi dan Dian mengiris bawang merah di hadapannya tanpa diminta.Tak berapa lama kemudian, Pak Saerah dan Siti nampak ke luar memapah Bu Saerah. Menuju ke sepeda di depan serambi. Tapi begitu Bu Saerah duduk di boncengan, tubuhnya terkulai. Ia kelihatan lemah sekali.“Aku tak kuat kalau harus bonceng sepeda, Pak,” desis Bu Saerah lirih.“Baiklah aku akan memanggil becak. Ayo masuk lagi,” kata Pak Saerah.“Mengapa mesti memanggil becak, Pak? Antarlah Bu Saerah ke dokter dengan kursi rodaku,” cetus Dian tiba-tiba.Gerakan Pak Saerah dan Siti terhenti. Ditolehnya Dian. Dian mengangguk meyakinkan. Emi bergegas mendorong kursi roda ke dekat mereka.“Aaah… kalau begitu… terima kasih banyak,” kata Pak Saerah setelah sesaat terpana. Rasa gembira dan haru berbaur menjadi satu.Nah, Bu Saerah telah duduk manis di atas kursi roda. Pak Saerah mendorongnya ke luar halaman, menyusur sepanjang tepi jalan, menuju tempat praktek dokter Isnan. Siti berdiri mengawasi dari tepi serambi, hingga Bapak-ibunya menikung jalan dan hilang dari pandangan.“Kalian jadi ikut repot,” Siti menoleh pada Dian dan Emi yang tengah sibuk mengiris bawang merah.“Ah, tidak,” sergah Emi dan Dian tulus. “Bawang merahnya tidak pedih di mata, lo,” sambung Emi. “He-eh,” Dian mengiyakan.Siti tersenyum sembari melangkah ke dalam rumah. Ketika ke luar lagi, ia nampak membawa sebuah piring kecil berisi ulekan bumbu miso. Bumbu itu dimasukkannya ke dalam panci kuah yang berada di bagian belakang gerobak. Begitu tutup panci dibuka, wusss… kepul-kepul asap panas mengudara dari dalamnya. Sesudah itu, Siti masuk ke dalam rumah lagi, dan beberapa saat kemudian ke luar lagi. Begitu berulang-ulang. Ia sungguh sibuk. Membuat sambal, membuat acar mentimun, mengiris daun seledri, mencuci daun selada, dan entah apa lagi. Yang pasti ia terampil sekali.“Nah, bawang merah sudah selesai diiris nih, Ti,” kata Emi saat Siti memasukkan setumpukkan mangkuk ke dalam laci gerobak.“Terima kasih.” Siti bergegas melangkah ke dalam rumah, membawa irisan bawang merah yang menggunung dalam baki itu untuk di goreng. Sementara Emi dan Dian tiduran di balai-balai sambil bercakap.Beberapa menit berlalu. Beres sudah semua. Siti berseri-seri, ia siap melayani Dian dan Emi. Dalam meracik miso mangkuk pun Siti sudah ahi.“Wah, rasanya tidak beda dengan buatan Bu Saerah atau Pak Saerah.” Emi berkomentar lalu mulutnya berdecap-decap tiada henti.“Iya ya, Siti pasti jadi juragan nanti,” gurau Dian. Emi dan Siti tertawa mendengarnya.Emi dan Dian baru selesai makan miso, ketika Pak Saerah dan Bu Saerah datang. Di dalam hati mereka berdoa agar Bu Saerah cepat sembuh. Siti dan Pak Saerah memapah Bu Saerah masuk ke dalam rumah. Emi mendorong kursi roda tadi ke dekat balai-balai. Dibantunya Dian duduk ke atasnya. Tak lama kemudian Pak Saerah keluar. Di lehernya terkalung handuk putih berukuran kecil. Artinya ia sudah siap untuk pergi ke terminal. Emi segera menyodorkan tiga lembar uang lima ratusan padanya. Itu uang miso Dian dan dirinya. Tapi Pak Saerah malah tertawa.“Wah, jadi berapa rupiah aku harus membayar sewa kursi roda dan rasa capek kalian mengiris bawang merah?” ujar Pak Saerah jenaka sembari menolak uang yang Emi sodorkan.Emi dan Dian terkesiap. Mereka berpandangan.“Kali ini kalian tak usah bayar. Kita barter saja, ya?” nada suara Pak Saerah masih saja jenaka. Lalu mendorong gerobak misonya turun ke halaman.“Terima kasih, Pak,” seru Emi setelah sesaat terpana.“Aku juga terima kasih Pak,” Dian menirukan.Pak Saerah yang telah sampai di tengah halaman menoleh sekilas sambil tersenyum manis. “Sama-sama!” katanya.“Terima kasih untuk semuanya Emi, Dian…,” gantian Siti kini yang bicara. Tiba-tiba ia sudah berada di mulut pintu.“Sama-sama,” Emi dan Dian menjawab berbarengan. Lantas keduanya berpamitan pulang. Pulang dengan perasaan lapang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar